Selasa, 21 Mei 2013

Catatan Kelahiran Si Abang (Bagian 1)

Alhamdulillaah, bulan Mei 2013 ini, usia abang genap 19 bulan. Tentu saja, sangat menyenangkan melihatnya begitu antusias menjelajahi "dunianya". Namun, kali ini saya mau bernostalgia sedikit, mengingat-ingat momen-momen menyenangkan sekaligus menegangkan saat hamil dan melahirkan si abang.

Saya mengetahui bahwa saya hamil tanggal 22 Februari 2011. Saat itu, saya sudah telat haid selama 1 minggu. Hal yang tidak wajar mengingat selama ini saya tidak pernah terlambat haid. Tanda-tanda yang saya rasakan seperti kram perut dan adanya flek, tidak langsung meyakinkan diri saya bahwa saya hamil. Ya, saya takut kecewa. Tepat seminggu setelah terlambat haid, saya pun mencoba alat tes kehamilan. Sengaja beli yang mahal, biar akurat, hehehhe.. Malam itu, saya tidak bisa tidur. Tidak sabar rasanya menunggu pagi. Begitu terbangun jam 4 fajar, saya pun langsung mencobanya. Sedetik, dua detik, kok tidak ada perubahan? Terlihat samar-samar ada bayangan, tapi saya tidak begitu yakin. Akhirnya, saya keluar dari kamar mandi. Siapa tau, dengan pencahayaan yang lebih terang, hasilnya akan terlihat lebih jelas. Saat itulah, saya melihat ada garis merah yang tipis sekali di alat tes tersebut. Saya amati berulang kali, supaya betul-betul yakin bahwa garis merah itu memang ada, bukan halusinasi saya :D. Setelah yakin, saya pun menelpon suami yang berada di Jakarta. Suaranya saat itu terdengar sangat senang, tapi juga sekaligus belum begitu yakin. Dia pun menyuruh saya untuk segera periksa ke dokter kandungan, hari itu juga :).

Singkatnya, 2 bulan pertama kehamilan saya tidak ada masalah. Makan banyak, tidak ada aktivitas yang berubah. Hanya karena jadi lebih gampang capek, setiap pulang kantor, saya selalu menyempatkan untuk tidur. Sesuatu yang berbeda terasa saat usia kehamilan memasuki 8 minggu. Perut terasa sakiiit sekali. Awalnya saya mengira karena salah makan. Namun rasa sakit itu tidak kunjung hilang, bahkan semakin menjadi-jadi. Mama dan bapak pun menyangkanya sebagai efek dari kehamilan ini. 2 malam berturut-turut, Bapak memijat kaki saya dan mama menempelkan botol berisi air hangat di perut saya. Hari ke-tiga, saya konsul ke dokter umum di dekat rumah. Beliau hanya memberikan saya 1 tablet penahan rasa nyeri dan berpesan jika tetap merasa sakit, sebaiknya saya kembali konsul ke dokter kandungan. Obat itu pun saya minum, namun ternyata tetap saja rasanya tidak berubah. Malam itu juga, saya konsul ke dokter kandungan. Saat melihat hasil USG, dokter mengatakan tidak ada masalah dengan kehamilan saya, semuanya bagus. Namun, saat transducer bergeser dari rahim, barulah terlihat ada kista di ovarium saya. Allohu akbar! Padahal ini sudah yang ke-tiga kalinya konsul ke dokter kandungan, namun selama ini tidak terlihat. Diperkirakan diameter kista sekitar 5 cm. Dokter langsung membuat surat rujukan ke rumah sakit. Kata-katanya membuat saya hanya bisa terdiam, "Kita observasi dulu. Jika memang tidak apa-apa, maka kita biarkan saja dulu kistanya. Namun, jika ini termasuk kista terpuntir, maka harus segera dioperasi. Jika tidak, maka akan mengganggu kehamilan dan ibunya akan merasakan sakit yang lebih hebat lagi". Ya Alloh.. mendengar itu, pikiran saya sudah kacau. Operasi? Padahal seumur-umur, saya belum pernah dirawat di Rumah Sakit. Alhamdulillaah, saya memiliki orang tua yang sigap. Mereka segera membawa saya ke rumah sakit dan meyakinkan saya semuanya akan baik-baik saja. Suami segera saya kabari. Dia hanya bisa diam. Ya, saya tau sebetulnya saat itu dia sedang panik dan bingung. Saat itu, ia sedang berada di Berau, Kalimantan Timur, entah untuk waktu berapa lama.

Di rumah sakit, saya segera mendapatkan perawatan. Saya langsung diinfus dan diberikan obat penahan nyeri dan pengurang konstraksi. Namun, tetap saja, rasa sakit itu tidak berkurang. Esoknya, saya dijadwalkan untuk USG lengkap dan tes jantung. Ternyata, hasil USG menunjukkan bahwa kista saya berdiameter 6 cm dan diperkirakan besar termasuk kista terpuntir. Dokter pun langsung menjadwalkan operasi pada esok paginya. Rasa takut dan kuatir bercampur jadi satu. Suami tidak memungkinkan untuk pulang, jadi saya harus melewati ini semua bersama mama, bapak, dan kedua adik saya. Namun  suami, mama mertua dan adik-adik ipar saya juga tak henti-hentinya memberikan dukungan moral melalui telepon.
Malam harinya, baru ketahuan bahwa saya juga sedang terkena disentri. Dokter spesialis penyakit dalam menyarankan operasinya ditunda dulu sampai disentrinya sembuh, karena berbahaya melakukan operasi saat tubuh sedang terinfeksi bakteri. Malam itu juga, perawat langsung memberikan obat untuk disentri saya tersebut.

Pagi harinya, dokter spesialis kandungan datang dan mengatakan bahwa operasi akan ditunda sampai disentrinya sembuh. Namun, ada kata-katanya yang membuat saya sempat down, " Rilya, adalah kewajiban kami untuk menyelamatkan kamu dan bayimu. Namun, dengan kondisimu sekarang, dimana tubuhmu harus "ditembak" dengan antibiotik kelas berat, maka dokter berharap kamu bisa ikhlas jika terjadi sesuatu dengan bayimu. Namun tentu saja, kami akan berusaha sebisanya untuk menyelamatkan kalian berdua".

To be continued :)